Jumat, 10 Desember 2010

Kegagalan Dara-ku [ cerpen ]

Deras hujan masih tak lelah-lelahnya menjatuhkan diri padahal, tampungan air berbentuk tabung di halaman rumah itu telah berulang-ulang memuntahkan isinya, menggenangi lantai depan rumah. Seorang perempuan pun berulang kali menyodok-nyodok air untuk tak membuat teras rumahnya kuyup atau sekadar menjauhkan cacing-cacing yang naik ke teras itu. Sementara di dalam rumah, teriakan dua bayi mungil serupa menyeruak diantara gaduhnya hujan. Perempuan muda itu meninggalakan pekerjaan dan menghampiri dua putri kesayangannya
 “ssstt… sayang jangan menangis, ibu sedang sibuk..” bisik perempuan berambut terikat dengan pakaian hampir kuyup itu menggendong satu bayinya yang hampir berhenti menangis sementara bayi satunya masih menjerit-jerit di atas popoknya yang berlumur kotoran, sekuat hati ibu muda itu berusaha sabar meski sebenarnya ingin sekali ia berlari dari kenyataan itu. Setelah beberapa menit berlalu dari membersihkan popok bayi yang satu dan memberi kedua bayinya dot susu, barulah ia dapat membebaskan diri dari jeritan protes anak-anak pertamanya. Ia menyandarkan diri di dinding kamar, melihat keluar jendela, masih deras hujan, telah tergenang seluruh luas lantai rumahnya, cacing-cacing pun beringsut-ingsut tanpa arah di lantai itu, ia hanya pasrah, tak ingin pedulikan lagi, biar saja, untuk apa pedulikan mereka sedang mereka sendiri pun tak pernah mempedulikannya. Seandainya ia bisa memilih sekarang, ia lebih baik jadi cacing yang slalu bisa memilih jalan hidupnya.
Perempuan itu melirik kedua anaknya yang telah tenang, apakah mereka terlalu cepat hadir di hidupku? Pikirnya. Alangkah tak siapnya aku menghadapi mereka dengan usiaku yang baru saja 16 tahun kemarin sore. Perempuan itu mengenangkan tragedi hidupnya satu tahun ke belakang
“ bu, aku mau main”
“main kemana? Sudah malam, jangan keluyuran !”
Tanpa mempedulikan ibunya anak remaja perempuan itu keluar
“Septi !mau pergi kemana kamu !”
Sang ibu berusaha mencegah tapi anak perempuan itu telah berlalu bersama seorang lelaki bermotor
“Septi !! dasar anak tidak bisa diatur !”
Dan si ibu pun tak bisa lagi menahan putri yang membawa keinginannya sendiri itu. Ini bukan pertama kali anak perempuannya pergi saat malam larut dan pulang saat pagi atau sore hari keesokannya, bersama laki-laki pula. Dan sang ibu yang hanya seorang diri, tanpa suaminya yang telah tinggal bersama perempuan lain, telah lelah memberi peringatan pada anak yang tak pernah menghiraukannya itu

Riuh ramai teriakan pemuda-pemuda yang berkumpul di malam hari, mengusik sunyinya malam yang tenang, Septi hadir diantara mereka
“ say, aku pulang ya.. kamu juga mau pulang kan?”
“iya…” jawab pemuda ber-anting di bibir itu seperti setengah sadar, ia mengatakan akan pulang ke rumahnya di tempat yang cukup jauh dari tempat itu.
Malam berlalu begitu saja. Subuh hari datang saat keributan terdengar lalu beberapa orang pemuda-pemuda yang berkumpul, di boyong paksa orang-orang berseragam polisi
“Danu…!” teriak Septi saat mendengar para pemuda di sana kedapatan pesta narkotika dan minuman keras tapi mereka telah jauh di seret pak polisi dan diantara mereka tak ada laki-laki yang bernama Danu itu. Septi menarik napas lega karena kekasihnya tak terlibat dan tertangkap disana, tapi kemudian masalah datang menghampirinya sendiri. Semenjak kejadian penangkapan itu, Danu tak pernah lagi datang ke rumahnya, bahkan menghilang. Padahal hari-hari yang Septi lalui terasa berbeda saat sesuatu tak biasa terjadi padanya, ia muntah-muntah, pusing-pusing dan alat tes kehamilan di tangannya, positif!
Septi berusaha menyembunyikan kehamilannya dan terus berusaha menghubungi Danu hingga ia bisa
“say, kamu dimana? kenapa tidak pernah kesini lagi?”
“aku..aku di rumah, kesitu?aku dengar anak-anak ditangkap ya?sudah pada di tebus belum?” jawab Danu di seberang sana
“iya, belum ditebus. Kasus narkoba, say. Untung ya kamu gak ikut-ikutan”
“hehe.. iy..iya…”
“say…aku…”
“aku apa?”
“aku hamil..”
“apa!?hamil?”
“iya…gimana dong?kapan kita nikah …”
“Septi….!!”seseorang memanggil Septi, menghampirinya
“apa ini !?kamu mau malu-malu-in ibu?hah!”
Dua kali tamparan mendarat di pipi Septi dengan Danu yang mendengar adegan itu dari telepon
“ampun bu, maafkan  Septi…”
Ia memeluk kaki ibunya dengan tangisan
“dasar anak tidak bisa diatur!tahu rasa kan sekarang!ibu juga ikut malu ! bilang ibu siapa yang menghamili mu!!? Wah.. jangan-jangan si Bandar narkoba itu” Septi tercengang sedikit
“Bandar narkoba siapa, bu?”
“itu laki-laki yang yang suka sama kamu!berandalan!bandar narkoba!pantas dia tidak berani datang kesini lagi, buronan!!mau gimana masa depan kamu?kalau kakak kamu tahu dia pasti marah besar !!” teriak ibu Septi naik pitam, hampir meraih gagang telepon hendak menghubungi kakak laki-laki Septi yang selalu berusaha keras membuat hidup Septi lebih baik dari keluarganya yang lain, kakak yang selalu menginginkan Septi menjadi seorang sukses positif lebih dari padanya. Tapi kenyataannya, Septi menghancurkan itu.
“tapi Danu bukan bandar bu, dia gak ikut-ikutan . Bu jangan kasih tahu kak Agra, Septi mohon, bu…”
“cepat atau lambat dia pasti tahu, biar kakak kamu seret si Danu itu kesini, untuk bertanggung jawab!” Septi hanya terdiam mendengar itu dan melihat layar handphone-nya, Danu memutus komunikasi.
Selang waktu yang teramat mengikis keteguhan hati Septi, Danu masih tak datang. Begitu Agra tahu, Septi benar-benar habis menjadi pelampiasan kemarahan dan kekecewaannya. Malah mungkin Septi sudah dihabisinya jika sang ibu tak menahan. Lalu kawan-kawan sekolah yang sudah terlanjur mengasingkan Septi, kawan-kawan seumurnya yang baru saja kemarin mendapat ijazah SMP dan pemuda-pemuda di kampungnya yang sudah kembali menghirup udara segar dari jeruji besi, membebankan segala kesalahan terhadapnya .menganggapnya pembawa masalah.
Setelah berulang kali dan melalui berbagai cara, akhirnya Agra berhasil menemukan dan meminta Danu menikahi Septi. Ia bersedia, tapi ia ingin menikah di rumahnya dan membawa Septi tinggal bersamanya
Kehidupan baru Septi di mulai setelah menikah. Ia bukan lagi remaj yang bias bermain bebas, ia telah kehilangan saat-saat paling menyenangkan di masa muda. Tidak ada jalan lain untuk melaluinya. Hidup dan jalani atau mati dengan penyesalan!menyesal?ya!penyesalan yang sungguh…
Danu hampir tak pernah memberikan kasih sayangnya seperti ia masih menjadi kekasih Septi, ia terkesan tak peduli ada Septi di hidupnya, apa yang ia berikan pada Septi seperti keterpaksaan, ia tak pernah peduli Septi sendirian di rumah dengan usia tua kandungannya, ia tak pernah peduli berapa kali Septi menangis untuk membujuk Danu menemaninya di rumah. Danu selalu pergi, pergi ke tempat berkumpul dengan kawannya, menikmati kehidupan dunia dengan narkotik, minuman keras, berjudi atau perempuan lain selain Septi si anak kemarin sore, Danu lebih suka bersama orang-orang yang sebaya dengannya, orang-orang yang jauh lebih dewasa dari Septi, ia hanya tak menyangka sebagai objek permainannya, Septi harus menjadi seorang istri untuknya, anak kecil yang hanya bisa bermanja-manja bisa apa sebagai istri…? shit! rasanya ia tak perlu lagi memikirkan itu…tak penting!
Tak hanya sebatas siksaan batin dari suaminya. terkadang Danu pun melakukan kekerasan jika bertentangan pemikiran dengan Septi. Sesuatu yang lebih membuat Septi menyesal! Berita kehamilan baru sampai ke telinga sang ayah setelah beberapa waktu dari hari pernikahannya, ayah Septi datang ke rumah ibunya dan menuduhkan segala yang terjadi adalah kesalahannya, beberapa waktu pertengkaran hebat terjadi hingga itu membuat penyakit jantung ayah Septi kambuh dan ia meninggal seketika.
Tak cukup hanya itu, beberapa bulan menikah dan Septi telah menginjak 8 bulan kandungannya, Danu kembali di pagi hari saat Septi terlelap, ketukan pintunya membangunkan kesenyapan, Septi tergopoh-gopoh membuka pintu, melihat suaminya mabuk berat, segera menjatuhkan diri di kursi kayu
“Dan...kenapa kamu gini? Kamu gak kasihan sama aku?” Septi menghampiri suaminya, meminta penjelasan, tapi Danu tetap tak menjawab, dengan wajah lusuh ia hanya merenung-renung
“Dan, kamu bohong ke aku, kamu bilang kamu akan buat aku bahagia...tapi kenapa Dan, kenapa kamu begini???” Septi berteriak-teriak, menarik-narik kerah baju Danu
“Danu.. kenapa kamu membohongi aku, aku salah apa sama kamu?kamu menghancurkan hidupku...aku tidak bahagia seperti ini Danu, AKU TIDAK BAHAGIA !!” Septi semakin histeris dengan tangisnya, antara meratapi nasib dan penyesalan, tapi Danu tetap tak bergeming, ia hanya memperhatikan Septi yang semakin menangis
“Danu... aku menyesal.. pembohong! padahal aku telah memberikan segalanya....hiks..hiks...” tangis Septi tak henti-hentinya menghiasi ketenangan
“Danu !!” Septi semakin menjadi, menarik-narik baju Danu dan memaksanya untuk berbicara. Danu bangkit dan mendorong Septi hingga terpental.
“apa!! Sekali lagi ku dengar?” Danu mendekatkan telinganya pada Septi yang begitu kesakitan “aku menghancurkan hidupmu?hahaha...” Danu tertawa puas “aku menghancurkan hidupmu?aku?seharusnya kau menyalahkan dirimu sendiri!” Danu mengarahkan telunjuknya ke wajah Septi yang masih terduduk
“tapi aku tidak akan begini kalau bukan karena kamu ! semua ini tidak akan terjadi kalau kau tak mengajakku” Septi membela diri
“kau salah! Seharusnya semua ini tidak akan terjadi jika kau tak menerina ajakan ku”
“kejam! Kau lupa menjanjikan aku apa?” Septi bangkit dengan marahnya, meraih baju Danu, memukulinya. Danu melepaskan Septi dengan kasar hingga ia terjatuh untuk yang kedua kali.
“kamu pernah mikir gak, kalau kamu itu perempuan murahan, hanya anak kecil yang menjadi objek permainanku, seharusnya kamu sadari itu dari dulu, untuk apa aku ingin menjadikan anak kecil manja sepertimu istri, memangnya kamu bisa apa?? Sekarang saja kau tak bisa lakukan apapun buat melayaniku” Danu berlalu dari istrinya. Septi menangis terpaku mendengar suaminya mengungkapkan kata-kata yang sungguh menyakitkan. Perlahan, segala hal yang menyakitkannya menjadi satu kekuatan baru
Septi terisak-isak sendiri di kamar itu, segala macam bayangan buruk menghantuinya, ia melihat bayi-bayi perempuan mungil nan lembut tertidur lelap dengan wajah tanpa dosa, dalam kesucian…..hh….mereka……
Seorang laki-laki tinggi membuka pintu dengan cepat, mengejutkan, ia hanya melihat Septi menangis, menyembunyikan wajah dibalik telapak tangannya
“kenapa kamu?!menangis?manja!”
Septi tak menghiraukan Danu yang berlalu beberapa saat lalu kembali membuka tangan Septi, melihat matanya memerah
“kenapa kamu?”
Mereka saling bertatap. Tatapan mata yang Danu baca penuh dengan kesedihan dan penyesalan. Tatapan polos yang penuh beban. Tatapan yang perlahan menyentuh nurani Danu
“kenapa, Septi?” Tanya Danu dengan nada yang lebih lembut, air mata Septi perlahan jatuh
“Danu.. kau…menganggap aku apa?”
“apa?menganggap apa?”
“iya, aku apa untukmu?”
“kau… ng….ng…istri. kenapa?”
“Danu, aku sadar, aku hanya anak kecil yang terpaksa dewasa, aku hanya seorang manja yang tidak bias memberikanmu apa-apa, aku hanya seorang remaja yang yang sudah kehilangan masa…..masa…”
Septi tak bisa meneruskan kata-kata dan air matanya terus menjatuhkan diri, Danu hanya memperhatikannya.miris.
“sudahlah..”
“aku sadar Danu, aku perempuan murahan yang mungkin tak berharga di matamu..” sesaat Septi merenung, ia masih tak meneruskan ucapan, seolah mempersiapkan kata-kata yang akan di ungkapkannya, sementara Danu masih penasaran menantikan apa yang sebenarnya ingin Septi katakan dan mengapa ia begitu
“tadinya, aku merasa kehilangan segala-galanya..mungkin mati lebih baik daripada begini” untuk kesekian kali Septi terdiam setelah mengucapkan sesuatu, tatapan melayang ke sudut-sudut ruang kamar tapi air matanya tetap tak henti menitik perlahan
“tapi ayah ….ayah pasti tidak akan senang jika aku menyusulnya sebagai pengecut begitu. Walaupun ibu, kakak yang selalu mengorbankan apapun untuk hidupku, teman-teman yang ternyata aku sadar, aku iri pada mereka dan… pemuda-pemuda di tempat tinggalku sana sudah tak pedulikanku, tapi…. Aku menyadari sesuatu..”
Septi melihat kedua bayi kembarnya yang terlelap, air mata sekali menetes, tapi ada senyuman di sana, secercah harapan…
“sesuatu?”
“iya Danu, Tuhan mengirimkan mereka untuk kita” Septi memegang tangan Danu “sepenuh hati aku akan menjaga dan mengajar mereka, aku tidak ingin mereka menjadi seperti ibunya yang hancur begini..” tangis Septi semakin memecah..Danu teramat terharu mendengarnya dan ungkapan-ungkapan itu sungguh menyentuh hatinya. Ia memeluk erat Septi, air matanya menetes
“maafkan aku Septi, semua ini salahku”
“iya, aku mohon kau berubah..walaupun tak untukku tapi, untuk mereka”
“iya, istriku..” 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar