Jumat, 10 Desember 2010

BOUNJURS

Cerita ini berawal ketika aku menjadi juara umum disekolah, jabatan yang memang slalu aku sandang. Aku masih menjadi anak kecil yang beranjak remaja ketika itu. Remaja yang seharusnya mempunyai kebebasan, mendapatkan perlindungan dan kebahagiaan.
Kawan-kawan memberi semangat padaku. Sebagai seorang putri pengusaha yang terkenal sukses, aku pun harus merayakan keberhasilanku bersama mereka. Kawan-kawan yang ku kira tulus bersahabat denganku dan akan selalu ada bagaimanapun adanya aku. Begitu kemeriahan pestaku usai, seorang laki-laki berkaca mata yang sering aku lihat--tapi aku tak tahu namanya--menghampiriku. Ia memberi ucapan selamat dengan canggung dan aku menerimanya, meski berhadapan dengan orang yang entah seperti apa karakternya. Ia tersenyum dan aku membalasnya. Hingga aku berlalu dari hadapannya, aku tahu ia masih memperhatikanku. Aku dan kehidupanku memang terasa begitu sempurna, aku bisa dapatkan apapun yang aku mau, termasuk seorang laki-laki yang paling di kagumi di sekolah, laki-laki yang selalu menjaga penampilannya agar selalu terlihat tampan tanpa kekurangan. Aku punya seorang teman dekat bernama Minhenna, ia sahabatku sejak kecil, meskipun ia dan aku mempunyai kehidupan yang berbeda, aku seorang pintar dan kaya sedang dia hanya perempuan biasa dan putri dari seorang tukang kebunku. Tapi selama aku seorang anak kaya, ia selalu bersikap baik padaku. Usai aku mengantar kawan-kawan pulang dengan MERCEDEZ E-CLASS  kesayangan ku, aku menghentikan laju mobilku di depan rumah, berharap bisa bertemu kedua orang tuaku yang pasti senang dan bangga atas kemenanganku setiap tahun selama aku bersekolah. Aku berlari menuju pintu rumahku yang lebih pantas disebut istana. Aku membukanya dan memperhatikan setiap sudut rumahku yang telah berubah, aku tak melihat seorang pun disana, aku mencari disetiap sudut ruang, tapi aku tetap tak menemukan siapa-siapa. Hingga nada lembut dari Ai instrumen* melantun di handphone ku. Aku mengangkat nomor yang ternyata telah berulang-ulang memanggilku.
“kenapa ayah?”
Aku menanyakan setiap keanehan yang terjadi disini, ayah tak menjawab apapun, hanya meminta aku untuk pergi kerumah nenek yang tak berapa jauh dari rumahku. Begitu sampai, aku menyalami setiap orang yang berada disana, aku menceritakan tentang apa yang kudapat dan aku lakukan bersama kawan-kawan. Ayah dan ibu hanya tersenyum sesaat, lalu merubah mimik mereka seperti orang yang tak tahu arti kebahagiaanku. Aku menanyakan kenapa tak ada apapun dirumah. Kosong! tak ada sehelai kainpun sebagai gorden. Ibu hanya terdiam hingga ayah mengawali jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku. Dan mungkin lebih baik jika aku tak pernah mendengarnya, karena ternyata itu adalah yang mengakhiri kesempurnaan hidupku. Ayah mengungkapkan padaku--meski dengan nada yang penuh kekecewaan--bahwa bisnis ayah telah bangkrut karena terlilit hutang pada renteneir-renteneir dan rumah megah itu sebagai pembayarannya. Bukan hanya kehilangan dan kamar tidur kesayanganku, ayah dan ibu menitipkanku pada nenek, sementara mereka pergi meninggalkan aku ke tempat yang mungkin akan membuat mereka menemukan hidup baru, dan memulai semuanya dari awal. Aku hanya bisa terpaku saat mereka meninggalkanku, di sore yang kelam, dengan awan-awan hitam menghiasi langit, angin dingin menyelimuti hatiku, dan langit menemaniku menangis. Seumur hidupku, pasti ini menjadi yang paling menyakitkan. Bahkan sangat menyakitkan! Dan mulai hari itu hidupku berubah, berubah tanpa kesempurnaan. Aku masih tak percaya, aku berada di kamar yang bukan milikku, melihat jauh ke luar jendela, rinai hujan samar-samar menampakkan wujud rumahku, rumahku tadi pagi dan bukan lagi baru saja. Keluargaku sebenarnya memang orang-orang baik, tapi keegoisan mereka membuat aku GILA..!!
Esok hari menjemput dengan cepat. Aku termenung di bangku kelasku, menyadarkan diri bahwa aku tidak sedang bermimpi. Mimpi?tidak!ini nyata. Aku masih terlarut dalam kesedihanku saat kawan-kawan menghampiri. termasuk Minhenna. Kawan sebangku ku.  Aku menceritakan semua  yang ku alami pada mereka. Mereka biasa saja, tapi tak seorang pun mengatakan bahwa aku harus bersabar. Saat jadwal pelajaran olah raga tiba dan penjelajahan menjadi menu pelajaran hari itu. Hanya Minhenna yang bersamaku. yang lain? Aku tak tahu. Dan berhari-hari yang kulalui membuat aku tahu bahwa aku telah kehilangan mereka. Teman-teman yang hanya ada saat aku senang! Aku tahu mereka memang orang-orang yang berlatar belakang tinggi dan selama ini apa arti dari persahabatan untuk mereka? lalu selama ini apa arti dari semua yang slalu aku lakukan untuk membuat mereka bahagia? Ternyata seperti ini balasannya. Seperti ini? Apa namanya?. Suatu ketika seusai sekolah, Gennova, pacarku, mengajakku ke suatu tempat.
Tempat yang sebenarnya begitu indah, sejuk, rindang dengan pohon besar yang memayungi tempat duduk. Aku tak Memperhatikannya--memang semenjak kejadian sedih yg menimpaku, aku lebih pendiam, entah kenapa--aku hanya menikmati udara sejuk yang ternyata masih bisa ku rasakan. Ia memulai perkataan lembutnya,memujiku,mengungkapkan semua kelebihan yang ada padaku..meski itu tak sdikitpun mnyntuh hatiku..hingga ia mengatakan bahwa ia ingin mengakhiri hubungannya bersamaku, mengakhirinya dengan alasan tak jelas. Hatiku sakit. tapi aku tak menunjukkannya hingga ia berlalu dari sisiku dengan terimakasih dan maaf sebagai  ucapan terakhirnya. Aku Menumpahkan semua kesedihan di hatiku, menangis sejadi-jadinya, aku tak bisa menyembunyikan lagi semua yang terpendam sendiri di hatiku. Rintik2 hujan turun perlahan disore itu..hingga hanya ada aku di tempat itu bersama dinginnya malam dalam hujan yang semakin larut.sendiri.tanpa siapapun dan tanpa apapun hingga tak kurasakan lagi rintik hujan itu menjatuhi tubuhku padahal suaranya masih deras kudengar. Aku mengangkat wajah yang semenjak tadi ku sembunyikan di balik lipatan tangan. Aku melihat seorang laki2 berkacamata berdiri di hadapanku,dengan sepeda tuanya yang tergeletak di rerumputan, ia memayungiku,sedang dirinya sendiri,,membiarkan dirinya dalam hujan. Ia menatapku semu,entah telah berapa kali ia mengusap wajahnya dari cucuran air hujan itu. Aku bangkit dan mendorongnya hingga terjatuh "mau apa kamu Kesini!?mau menertawakanku!puas kamu, puas!!"
Dia hanya terdiam ketika aku mencacinya.. Aku masih tak bisa menahan air mataku, aku berlari keluar dari taman kota itu, hingga aku terjatuh dan kakiku berdarah, aku memaksakan diri umtuk berjala meski dengan tertatih2. Hingga diakhir batas kemampuanku, aku tak mampu lagi berdiri dan melangkah, aku hanya bisa menyandarkan diri pada pohon di tepi jalan, merasakan sakit di kaki dan hatiku. Dan beberapa menit berlalu, laki2 berkaca mata itu menghentikan laju sepedanya di hadapanku
"yurin, ayo aku antar pulang"
Ia menyebut namaku, menawarkan jok sepeda belakangnya, akhirnya aku turut, seharusnya aku memang berterimakasih sejak awal tapi...aku malah mencacinya,aku menyesal!. Hujan telah reda saat ia menghentikan putaran roda sepedanya di depan rumah megah nenekku, entah darimana ia tahu tempat tinggal baruku, aku tak peduli.dan ia berlalu dari hadapanku dengan lambaian tangannya sesaat. Aku menatap layu yang ada di hadapanku, seharusnya rumah megah slalu penuh dengan kebahagiaan tapi...
Aku hampir meraih gagang pntu rumah itu saat aku berfikir jika tidak kena marah, diceramahi, dicaci atau... Aku tak berfikir lagi dan meraih gagang pntu itu, memutarkannya, mendorongnya,,tapi pintu itu tetap tak terbuka. Aku menyandarkan diri di dinding, semuanya kaku, aku tak dapat merasakan apapun lagi,lalu aku terlelap tanpa kekuatan di teras rumah megah itu. Begitu mentari membangunkanku, selembar kain tebal nan lembut membalut tubuhku, luka di kaki ku pun sudah berbalut kasa dengan rapi, tapi aku tak tahu siapa yang melakukannya. Aku bangkit dan hampir mengetuk pintu ke tika pintu itu tiba2 membuka dan satu wajah tak asing--yg sllu mmbuat batinku tersiksa--menatapku kelu "dari mana kamu!?anak perempuan macam apa pulang malam,jangan bawa kebiasaan buruk seperti ibu mu kesini,lihat ayahmu jatuh miskin karena siapa?ibumu!anak2ku tak satupun orang miskin hingga hanya ayahmu!gara2 siapa??ibumu!memalukan!"
Aku masih mengingat jelas setiap kata yang pernah nenek ucapkan.
Setelah menyapu lantai dan membereskan rumah, aku berlari ke sekolah meski terlambat dan aku harus berdiri mennghormat bendera dengan kaki kanan diangkat hingga waktu istirahat tiba. Panas terik matahari bukan kepalang...aku tidak mau menyerah,tidak mau terlihat layu dan seperti seorang yang ingin dikasihani--karna tak akan ada yang peduli padaku--. Begitu waktu istirahat tiba,hukumanku selesai,aku hanya bisa terduduk lemas,tak selembar uang kertas atau satupun koin di saku bajuku. Murid2 di kelas mulai berhamburan memenuhi setiap sudut sekolah, air mataku jatuh tak tertahan, Minhena pura2 tak melihatku dan yang membuat aku makin teriris, ia bersama Gennova. Aku menyembunyìkan wajah di balik lipatan tanganku, tak peduli orang melihat ku atau tidak, pedulikan ku atau tidak, keringat dingin memandikan ku,lemas,gemetar,tapi aku tidak bisa apa2.seandainya bisa, aku ingin menjerit sekuat-kuatnya.biar mereka semua tahu aku menderita,tapi aku tak bisa,tak bisa melakukannya
"yurin..." seorang memanggil namaku dan aku melihat Gennova memberikan sebotol minuman padaku.aku tak mengertì apa yang kurasa,tapi air mataku tak dapat dapat kusimpan saja dan entah apa yang membuat tanganku begitu sulit menerima pemberian itu. Aku memaksakan untuk menerima--karena memang aku butuh--dan tanganku hampir meraihnya saat minhena datang dan mengambil minuman itu dari Gennova, lalu menjatuhkannya di depan wajahku, dia tersenyum dengan Gennova yang hanya terdiam melihatnya, ternyata Gennova tak sehebat yang kukira,tak sehebat ketampanannya. Dan mulai saat itu aku menghapus semua perasaanku terhadapnya,kekagumanku terhadapnya!semua orang disana menatapku tapi tak ada laki2 berkaca mata, Minhena mengajak Gennova pergi dariku "terimakasih,Minhena"
Satu ucapanku itu membuat Minhena menghentikan langkah,membalikkan wajah padaku begitupun Gennova yang menatapku seperti penuh penyesalan atau mungkin hanya kasihan. Aku ucapkan sekali lagi bahwa aku berterimakasih banyak pada mereka.mereka telah mengajariku bagaimana rasanya diperlakukan seperti ini dan mereka hanya terdiam tanpa mengatakan apapun lalt menghilang dari hadapanku. Seorang pak guru BK yg sudah ku anggap ayahku sendiri, menghampiriku,memapahku hingga sampai di tempat dimana aku bisa sedikit menghilangkan semua yang menumpuk di hati dan memoriku.yg membuatku entah masih hidup ataukah tidak dan memang hanya ditempat ìtulah aku bisa menumpahkan segala hal ku pada pak Damny yang baik itu. Ketika waktu sekolah usai, aku melihat Minhenna berboncengan dgn Gennova,mereka melewatiku begitu saja.aku tetap berjalan meski dengan langkah yg tak sempurna.tiba2 laki2 berkaca mata menghentikan sepedanya disamping kt.ia tersenyum manis, senyum yang membuat hatiku merasa sejuk, aku tak bisa tak membalas senyumnya dan tak bisa menolak penawaran untuk ikut bersamanya,aku duduk di jok belakangnya dan ia membawa sepedanya lebih cepat dari Gennova membawa motornya "baru bawa sepeda aja bangga,ayo Gen kejar!" aku mendengar Minhenna memberikan perintah dan Gennova mengikutinya,membawa motornya melesat bagai anak panah Arjuna.meninggalkan jauh aku dan...laki2 berkaca mata--yang hingga saat itu aku tak tahu namanya--.
"yurin..” laki2 yang memboncengku itu, memanggilku.
"Apa?"
"apa kau tidak mau tahu namaku?"
"Namamu?siapa?"
"aku Kandra"
"Kandra"
"iya"
Dan mulai sejak itu aku tahu namanya dan tahu sedikit tentang dia. Sepeda yang dibawa Kandra melewati Gennova dan Minhena yang berhenti karena motor mereka kehabisan bensin. Sungguh aku merasa puas dengan apa yang menimpa mereka,Kandra membawa sepedanya melaju cepat di turunan,membuat angin sejuk meniup wajahku,aku merasakan kesejukan,kebebasan!!
"ayo yurin teriak sama-sama!lepaskan semua yang terpendam di hatimu...!"
"satu,dua,...."dan dengan aba2 darinya aku melepaskan semua yang mencengkram hatiku,Tuhan...aku bebas..aku bisa tertawa puas dan lepas...
Kandra membawaku ke suatu tempat, ia mengatakan hanya aku dan dia yang tahu tempat itu,tempat yang melewati pagar pohon anak nakal...
Suatu tempat yang begitu penuh ketenangan dan satu biola tersimpan rapi diatas tempat duduk beratap daun rumpia. Aku menceritakan setiap kesedihan yang ku alami, ia mendengarkan dengan seksama, dengan biola di atas lahunannya, aku mengatakan bahwa aku tidak ingin punya teman orang kaya lagi, mereka jahat, mereka ternyata orang-orang yang tidak mengerti arti persahabatan, orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan aku benci. Benci !!. ia tersenyum lembut dan mengatakan bahwa aku harus bersabar, selalu tersenyumlah bagaimanapun beratnya yang aku alami, selama aku menjadi orang baik yang ku dapat pasti hal yang baik pula, meskipun yang ku alami terasa menyakitkan, justru disanalah Tuhan memberikan pelajaran supaya aku bias memahami arti dari semua itu. Dan setiap ucapan darinya selalu menguatkan hatiku. Ternyata beginilah dia, aku piker dia seorang yang kuat, tentu saja—jika tidak, ia tida mungkin bias membuat aku menjadi seorang yang kuat—dan hanya dialah yang selalu memahami hari-hariku dalam kesedihan, ia selalu membuatku tersenyum, selalu menghapus air mataku, tak peduli bagaimana pun orang memandangku sebagai seorang miskin yang bersama laki-laki miskin yang hanya memilki sepeda tua, tak peduli sebagaimanapun menyakitkan nya ocehan kawan-kawan—orang-orang kaya—itu. Kandra tetap membuat aku selalu berdiri tegak! Seperti batu karang di tengah lautan yang di terjang ombak namun tetap tak bergeming sedikitpun! Yang membuat aku tak akan bias melupakan tentang dia; ia menciptakan nada-nada lembut yang melantun indah dengan biolanya, untukku. Dan ketika waktu menggantikan tahun sejak persahabatanku bersama Kandra, aku satu SMA lagi dengannya, dengan beasiswa, yang entah dari mana mereka tahu aku membutuhkannya sedang mereka tahu aku selalu pulang ke rumah megah yang berdiri tegak di jajaran perumahan elit itu. Aku satu sekolah lagi dengan orang-orang yang selalu ingin puas menertawakan hidupku. Termasuk Minhenna dan Gennova. Minhenna yang selalu berambisi mengalahkan prestasi ku di sekolah baru itu, karena pada kenyataannya, meskipun aku lebih punya banyak waktu untuk bekerja di rumah daripada belajar, tapi masih tak seorangpun mengalahkan nilai-nilai prestasi ku, hingga suatu ketika pada musim kejuaraan menawarkan bebagai kemenangan untuk orang-orang pintar penuh pretasi, aku dan Kandra belajar keras untuk mendapatkannya, mendapatkan beasiswa kuliah ke luar negeri, supaya aku masih bias belajar, bisa membuat orang tuaku tersenyum bangga, aku ingin mengakhiri penderitaanku, mengakhiri penderitaan mereka, membuat nenekku tercinta itu menyesal atas apa yang selama ini di lakukannya terhadap ku dan aku ingin membungkam kawan-kawan yang tak pernah menjaga  hatiku. Dan satu lagi…..
Selain Gennova menyukai perempuan kaya, ia juga menyukai perempuan pintar dan popular…
 Aku ingin membuatnya…………


            Kandra memang tak seperti aku yang harus selalu membuka buku-buku untuk menambah isi kepala, ia lebih memilih untuk bersaing dengan orang-orang yang memainkan biolanya dengan hebat.
Aku memang telah cukup lama  mengenal Kandra, ia baik, kuat, selalu membuat aku bahagia, ia pandai bermain biola, mempunyai sepeda tua yang selalu ia gunakan untuk  membawa dirinya kemanapun, dan ia selalu berpenampilan sederhana. Hanya itu yang aku tahu tentang dia. Aku tak tahu ia dari mana, bagaimana keluarganya atau berasal dari kleluarga seperti apakah ia. Ia tidak pernah menunjukkan apapun tentang itu padaku. Dia hanya pernah mengatakan, bahwa ia mengagumiku, mengagumi kekurangan dan kelebihan yang ada padaku.


            Ketika seleksi untuk perwakilan sekolah, yang lulus di akademik hanya aku dan Minhenna—ya, karena hanya dia yang tahu tekhnik belajarku—begitupun Kandra yang menjadi satu-satunya kandidat biola di sekolah itu. Dan ketika persaingan pelajar-pelajar satu Negara itu dimulai, aku berdoa pada Tuhan dengan semua apa yang telah aku lakukan, seperti Kandra mengatakan; jika aku baik maka aku akan dapat semua yang  baik, apapun itu. Dan dengan keteguhan hati dalam kerja kerasku selama ini, akhirnya semua itu mengantarkan ku pada kemenangan tertinggi ! Minhenna melirik ku sinis dengan Gennova di sampingnya yang mentapku penuh kekaguman. Aku segera berlari ke tempat dimana Kandra sedang berjuang, setelah mengucapkan beberapa patah kata atas kemenanganku. Aku member semangat penuh padanya. Ia tersenyum saat membuat seisi ruangan terpaku mendengar nada indah yang  ia lantunkan, nada yang ia ciptakan untukku…dan doa ku terkabul…
Ia akan perhi ke Jepang bersamaku….
Itu sesuatu yang sangat menyenangkan dalam hidupku, meskipun ayah dan ibu tak hadir disini. Aku kembali ke tempat tinggal ku setelah mencuri waktu untuk mendapatkan beasiswa itu. Aku memaksakan diri menghubungi orang  tuaku, meminta mereka untuk dating saat aku pergi nanti, ayah dan ibu sangat senang, mereka terdengar sangat baik, lembut, membuat aku semakin menyayanginya.
Masih ada beberapa bulan untukku tetap tinggal di tempat dan sekolah SMA tiu. Satu hari seuisai sekolah, Gennova menghampiriku dengan BMW terbarunya, ia tersenyum dan mengajakku turut bersama, tapi Kandra menunggu ku di seberang sana dengan sepedanya
“maaf Gen, aku tidak mau ikut dengan mu”
“kenapa?”
Kandra tersenyum memperhatikan ku
“aku takut mobilmu mogok tangah jalan seperti waktu bensin motormu habis”
Aku tertawa dan berlalu darinya bersama Kandra. Ia mengejarku, menghentikkan laju sepeda Kandra. Ia keluar dari mobil mewahnya dan membawaku berbicara. Ia mengatakan, ia mencintaiku. Ia tak suka perempuan yang mengaku orang kaya seperti Minhenna, ia menyukaiku dan menyukaiku, aku yang selalu apa adanya
“tapi aku bukan perempuan kaya yang kamu inginkan, yang sejajar denganmu”
“aku bisa membuatmu kaya”
Ia melirik mobil mahalnya. Aku tersenyum
“aku telah  banyak menderita karena kekayaan”
Aku berlalu darinya yang hanya termenung.
Dan semenjak Minhenna kehilangan Gennova, ia meminta kau menjadi teman dekatnya lagi, dan kawan-kawan di sekolah begitu baik padaku setelah tahu aku orang pintar yang akan kuliah di Jepang, entah apa yang membuat mereka memperlakukanku begitu istimewa. Walaupun begitu, aku hanya ingin tetap punya Kandra. 


Malam perpisahan sekolahku tiba, aku sungguh bahagia, sebentar lagi aku akan menjadi mahasiswi di salah satu universitas di Jepang. Aku berharap nenek senang dengan kejutan yang aku berikan. Satu waktu aku menghampirinya yang sedang duduk santai menikmati udara sore
“nek, Yurin mau membicarakan sesuatu”
Nenek hanya diam tanpa mengucap satu katapun. Padahal, itu saat yang langka ketika aku mengajak nya berbicara
“nek, aku jadi juara pertama olimpiade nasional, aku akan kuliah ke Jepang”
Mendengar yang ku ucapkan, nenek berkaca mata itu menatapku garang
“apa!? Kuliah ke Jepang!?hebat sekali kamu, seperti orang kaya saja, malah orang kaya juga tidak berlebihan seperti itu, uang darimana untuk biaya di Jepang itu, sekolah di Jepang, belum puas kamu nyiksa orang tua mu, seperti ibu mu...............”
Ibuku memang tak selalu ada ketika aku membutuhkannya, api aku tak rela ia selalu di hina dan di perlakukan seenaknya. Aku sungguh-sungguh, naik darahku! “ibu mu yang hanya bisa merusak, menghancurkan bisnis ayahmu, berani-beraninya meminjam uang begitu besar hanya untuk perhiasan lah, kecantikanlah...padahal jelek ya sudah jelek saja...”
hh... hatiku benar-benar teriris.perih.sakit!
aku berlari tak bisa menahan air mataku, keluar dari rumah persetan itu, manusia seperti apa dia. Dia ingin menghancurkan masa depanku. Aku membencinya. Benci! Kekayaan itu sungguh-sungguh membuat aku tersiksa. Menutup mata mereka dan membuat aku tersiksa. Sebagai manusia biasa, aku tak bisa terus bersabar....
saat aku berlari melintasi halaman luas dengan kap mobil terbuka yang terparkir disana. Entah apa yang membuatku ingin menghampirinya, tanpa berfikir lagi aku menarik selang minyak rem itu hingga trlepas dari tempatnya. Aku pergi ke tempat yang bisa menenangkan hatiku. Dengan Kandra sebagai sandaranku, dengan lantunan irama biolanya yang membuat hatiku sejuk dan air mataku berhenti. Entah kenapa seolah aku hanya bisa hidup saat bersamanya. Ia mengantarkan ku saat malam telah larut. Aku melihat sopir pribadi nenekku menutup kap mobil, dan mengatakan orang tuaku ada di dalam. Aku segera berlari girang memeluk ayah, ibu dan adik perempuanku satu-satunya itu. Mereka memuji kehebatanku. Nenek tersenyum melihatnya, ia selalu bersikap baik padaku jika orang tuaku ada.
    Esok hari, dengan semangat penuh aku berangkat lebih dulu ke sekolah untuk mengecek persiapan perpisahan—adik kelasku, meminta bantuan untuk itu—dan ketika perlahan semua orang hadir pada acara itu, aku masih tak bisa menemukan kedua orang tuaku, sedikit resah ku rasakan—sedikit, karena memang aku terbiasa tanpa mereka—dan ketika handphone yang baru saja kumiliki lagi—yang baru ayah berikan tadi malam—berdering, aku mendengarkan dengan teliti satu pesan yang seseorang sampaikan padaku. Aku berlari meninggalkan acara tanpa mempedulikan orang-orang yang menatapku keheranan. Aku tak percaya! Aku masih tak percaya jika tak melihat denagn mataku sendiri. Aku berlari secepatnya melintasi jalanan gersang dalam kemacetan dan aku sampai di tempat, dimana orang di telpon itu mengatakan aku harus kesana. Dan sesuatu pemandangan tragis membuatku terpaku....
Mobil itu......dan orang tuaku, adikku, nenekku bersama pak sopirnya tewas terjun ke jurang yang dalam itu. Aku hanya bisa terduduk lemas. Tangisan  ku perlahan memecah. Aku tidak bisa percaya. Tidak ingin percaya!! Aku mencoba menyadarkan diriku sendiri. Ini mimpi. Hanya mimpi ! aku ak bisa menyadarkan diriku lagi! Aku menyaksikan semua anggota keluargaku berbungkus kafan di kubur tanah....
Aku.... PEMBUNUH..!! Aku tak mampu melakukan apapun lagi. Ketika aku menjerit melepaskan kesedihanku, mereka telah menganggap aku seorang gila. Berulang kali obat penenang ku telan dengan paksa.
Aku masih menangis di satu sudut ruang rumah sakit jiwa itu, Kandra menghampiriku, berulang kali aku katakan aku tidak gila. Ia memelukku. Mengusap rambutku. Mencium keningku. Mengatakan bahwa aku harus bertahan, karena ia akan membuat aku sembuh lalu, ia pergi meninggalkan ku, ke Jepang.
Bertahun-tahun yang ku lalui saat menunggunya kembali, aku tak tahu bagaiman sebenarnya aku, aku merasa tidak gila tapi.....hanya saat bersamanya. Jika ia tidak mengatakan aku harus bersabar, rasanya aku pasti sudah menyusul orang-orang yang menjadikan aku darah dagingnya itu.


∞∞∞∞∞∞∞∞


Ketika Kandra kembali dengan gelarnya, ia kini telah menjadi seseorang yang tak seorangpun berani memandangnya sebelah mata. Meskipun begitu, aku tak pernah melihat ia tak bersama sepeda tuanya. Dan ia meraih tanganku, membantuku mengembalikan diriku yang sebenarnya lalu mengatakan padaku “bersediakah kau menjadi pendamping hidupku selamanya?”aku hanya mengangguk dengan senyum senangku. Ia mengajakku menemui orang-orang yang menjadi keluarganya, sungguh terpaku aku saat melihat entah berapa kali luas rumahku, rumahnya itu. Tempat yang selalu ia gunakan untuk bermain biola itu ternyata hanya sebagian kecil dari halaman belakangnya, yang lebih mengejutkan, laki-laki yang menjadi kakek Kandra ternyata pemilik SMA tempat aku bersekolah tanpa membayar sepeserpun. Aku sungguh malu, mereka sudah memberikan itu padaku, tapi aku.....
“aku malu Kandra, lihat aku sekarang? Aku bukan apa-apa”
“aku tidak butuh kau menjadi apa-apa, cukup menjadi istri dan ibu yang baik untuk  anak-anak kita nanti”
Kandra tersenyum lembut, sebenarnya aku tidak terima hanya menjadi .... perempuan biasa tapi, apalagi yang bisa ku lakukan. Aku tak punya apa-apa lagi selain dia yang ingin ku berikan kebahagiaan.


∞∞∞∞∞∞∞∞

Sebelum Kandra benar-benar menjadi suami ku, tiba-tiba Gennova menemui ku, ia masih membawa kata-kata lembut dan kagumnya padaku, ia mengatakan maukah aku menjadi istrinya. Ia memang tak membawa kemewahannya lagi tapi ia telah begitu lama menghilang dari hatiku
“kamu lihat aku Gennova, aku bukan apa-apa lagi, bukan perempuan kaya yang pintar dan populer lagi sekarang” aku katakan itu
“aku tak peduli itu, Yurin. Aku juga bukan apa-apa”
Dia memperlihatkan penampilan sederhananya, aku tahu ia merendah tapi........aku ingin membuatnya marah. Aku tersenyum, aku dapat merasakan mimik wajah senang meski aku tak melihatnya
“aku tahu Genn, tapi aku TIDAK MAU HIDUP BERSAMA LAKI-LAKI yang BUKAN APA-APA, nanti bagaimana anak-anak kita bisa hidup?”
Aku menahan senyum ku, aku tahu dia kesal mendengarnya, dia memegang bahu ku
“Yurin...aku....”
Aku tahu ia  mencoba bersabar, ia ingin mengatakan sesuatu tapi ia tahu itu akan membuka ia yang sebenarnya, bukan yang berpura-pura miskin di hadapanku
“apa?”
Aku melihat ia yang memperhatikan wajahku, aku tahu ia membaca sesuatu dari mataku. Ia melepaskan tangannya dengan kasar dari bahu ku
“Yurin, kau...”
Ia menatapku tajam hingga aku tak bisa menyembunyikan senyumku lagi
“kamu masih gila?”
Ia bertanya penuh keheranan, membuat aku ingin tertawa
“memangnya kenapa kalau aku gila? Kau menyesal?”
“tapi kamu sudah sembuh, kan?”
“ kalau kamu tahu aku gila lalu selama ini kamu kemana? Dimana saat aku membutuhkan mu, saat Kandra pergi, berjuang untuk menyembuhkan ku, kamu dimana?”
Ia terlihat kebingungan
“aku... maafkan aku Yurin”
“sudahlan Genn, berhenti mengejarku!”
“tapi aku mencintaimu”
Ia memegang tanganku, aku berusaha melepaskannya
“berikan saja cintamu itu untuk perempuan yang lebih pantas menerimanya!”

                                                                                                         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar